#UI GB 5.0 : Guru Besar Sebagai Pilar Utama Rumah Guru Bangsa


#UI GB 5.0 : Guru Besar Sebagai Pilar Utama Rumah Guru Bangsa

Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc.; Calon Rektor UI 2019-2024

Dalam #UI GB 5.0, Penulis menjadikan Guru Besar sebagai pilar utama dalam bangunan Rumah Guru Bangsa dan mengusung Visi “UI sebagai Guru Bangsa yang berkualitas dan unggul di 5 besar Asia Tenggara”. Mengapa? Karena penulis menargetkan akan ada 3.000-an artikel oleh civitas akademika UI yang dipublikasi di jurnal terindeks SCOPUS per tahunnya. Sekali lagi, artikel yang dipublikasi di jurnal terindeks SCOPUS; Bukan 3.000-an publikasi terindeks SCOPUS. Bagaimana mungkin? Berikut uraian yang menerangkan bahwa target tersebut bukan isapan jempol belaka.

Dalam Naskah ART UI tahun 2015 disebutkan bahwa Guru Besar UI adalah dosen yang diangkat menjadi Guru Besar di lingkungan UI. Kamus Besar Bahasa Indonesia juga memberikan definisi yang kurang lebih sama, yaitu guru besar adalah pangkat guru (profesor) pada perguruan tinggi. Kedua definisi tersebut sama-sama tidak memberikan secara gamblang mengenai apa peran guru besar?

Statuta UI tahun 2013 pada Bab IV, pasal 41, ayat 2 menyebutkan bahwa Dewan Guru Besar (DGB) UI merupakan salah satu Organ UI yang terdiri dari perwakilan 5 guru besar yang tergabung dalam Dewan Guru Besar Fakultas. Pada Bab III, pasal 9, ayat 3 Statuta UI 2013 disebutkan bahwa DGB UI bertanggung jawab untuk melakukan pemantauan, pengembangan, dan penjaminan otonomi keilmuan di tingkat Universitas; dan dengan demikian, DGBF bertanggung jawab untuk melakukan pemantauan, pengembangan, dan penjaminan otonomi keilmuan di tingkat Fakultas.

Kesimpulan yang kita dapat ambil dari paragraf kedua dan ketiga adalah Guru Besar merupakan unsur penting dalam pemantauan, pengembangan, dan penjaminan otonomi keilmuan baik di tingkat Universitas maupun Fakultas. Dengan demikian, terjawab sudah mengapa Penulis menjadikan Guru Besar sebagai pilar utama dalam bangunan Rumah Guru Bangsa yang mengusung Visi “UI sebagai Guru Bangsa yang berkualitas dan unggul di 5 besar Asia Tenggara”. Lantas bagaimana caranya?

Dalam tulisan yang lain, Penulis mengisyaratkan bahwa menjadi unggul di 5 besar Asia Tenggara berarti harus mempersiapkan dan mensejajarkan diri dengan top 100 world class university menurut data QS World University Rangkings. Pada data pemeringkatan tahun 2020, UM mantap berada di posisi 70; sedangkan UKM yang merupakan peringkat terakhir pada 5 besar Asia Tenggara mantap pada peringkat 160 dunia. Mengapa menggunakan frase kata “mantap berada pada peringkat”? Karena dalam 5 tahun terakhir (2016-2020) secara meyakinkan peringkat universitas 5 besar Asia Tenggara tersebut (NUS, NTU, UM, UPM, dan UKM) semakin membaik dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, peringkat kelima universitas tersebut (khususnya UM, UPM, dan UKM) terus meningkat dan tidak pernah turun. Jadi salah besar kalau ada Calon Rektor UI sekarang ini yang membawa Visi dan Misi membawa UI ke peringkat 200 besar Dunia! Untuk itu, harus ada gebrakan baru dalam pelaksanaan penelitian di UI supaya dapat mencapai target jumlah 3.000-an artikel yang dipublikasi di jurnal terindeks SCOPUS. Usulan yang diberikan Penulis adalah penelitian berbasis grup riset.

Apa itu penelitian berbasis grup riset? Selayaknya yang dapat kita lihat di universitas-universitas kelas dunia, pengembangan ilmu yang dikejawantahkan dalam bentuk penelitian dilakukan dalam grup-grup riset yang dipimpin oleh seorang professor yang menjadi lokomotif jalannya penelitian dan pengmas sesuai dengan kompetensi dan kepakarannya. Grup riset tersebut harus memiliki road map riset yang jelas dengan parameter output yang jelas pula, yaitu publikasi artikel di jurnal internasional bereputasi dan paten. Grup riset juga harus memiliki ruang-ruang lab yang memadai beserta peralatan penunjang riset yang sangat bagus dan lengkap. Dalam grup riset, seorang professor memiliki beberapa peneliti tetap bergelar doktor (dosen), peneliti tetap bergelar doktor (non dosen), peneliti post doctoral, mahasiswa pasca sarjana, mahasiswa S1, dan tenaga laboran yang handal. Grup riset juga harus memiliki jaringan kerjasama / net working yang luas, baik dengan institusi riset dan peneliti dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, grup riset dan hasil penelitiannya akan dikenali dan disitasi.

Apa yang dapat diharapkan dari penelitian berbasis grup riset? Mari kita asumsikan bahwa masing-masing profesor akan memimpin 1 grup riset yang minimal memiliki 2-3 peneliti tetap (dosen UI) bergelar doktor, 2 peneliti tetap (non dosen) bergelar doktor, 2-3 peneliti post doctoral (dalam atau pun luar negeri), dan 5 mahasiswa pasca sarjana. Jika 1 orang dibebankan kewajiban 1 artikel untuk publikasi maka per tahun ada 11-13 artikel yang dapat dipublikasi di jurnal internasional bereputasi. Merujuk kepada jumlah profesor di UI yang berkisar di angka 270-an, maka akan dihasilkan 2.970-3.510 artikel yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi per tahun. Asumsi perhitungan tersebut belum memasukkan mahasiswa S1 yang hasil penelitiannya dapat dipublikasi dalam prosiding terindeks SCOPUS dan perbaikan sistem penerimaan mahasiswa Pasca sarjana di UI yang dapat meningkatkan jumlah dan mutu input mahasiswa. Hal tersebut menambah keyakinan akan target 3.000-an artikel yang dipublikasikan di jurnal terindeks SCOPUS. 

Apakah capaian hasil riset dalam hal jumlah publikasi terindeks SCOPUS selama ini belum tercapai? Bukankah jumlah publikasi UI 2015-2019 sudah sangat tinggi? Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut mari kita lihat secara objektif data SCOPUS tahun 1948-2014 dimana total jumlah publikasi UI adalah 4.676. Pada akhir tahun 2019, jumlah total publikasi UI adalah 9.120. Selintas hal tersebut merupakan sebuah prestasi peningkatan jumlah publikasi terindeks SCOPUS yang sangat luar biasa: hanya dalam 5 tahun (2015-2019) jumlah publikasi UI hampir sama jumlahnya dengan total publikasi selama 66 tahun (1948-2014). Sekarang mari kita analisa lebih detil lagi. Jumlah 4.676 publikasi terindeks SCOPUS pada periode 1948-2014 terdiri dari 75,8% artikel jurnal dan hanya 15,3% artikel prosiding; sementara jumlah publikasi terindeks SCOPUS hingga 2019, jumlah artikel jurnal 46,9% dan artikel prosiding 50,5%. Hal tersebut berarti, pada RPJP UI Tahap I targetnya hanya kuantitas dan belum berorientasi pada kualitas yang tentunya akan mempengaruhi indeks sitasi UI yang memang masih sangat kecil. Benarkah secara kuantitas meningkat namun secara kualitas belum meningkat? Mari kita cek apakah peningkatan jumlah publikasi tersebut mampu menaikkan peringkat UI di QS World University Rankings (QS WUR) secara signifikan? Peringkat UI di QS WUR pada rentang tahun 1948-2014 di mana publikasi UI masih rendah justru lebih tinggi dibandingkan dengan periode tahun (2015-2019) yang mengalami percepatan jumlah publikasi terindeks SCOPUS. Ambillah contoh peringkat UI pada tahun 2009 dan 2011 pada QS WUR di mana UI berada di peringkat 201 dan 217; Sementara tahun 2015 dan 2016, peringkat QS WUR UI adalah 310 dan 358. Tiga tahun lainnya (2017-2019), peringkat UI di QS WUR naik dan turun--relatif terhadap tahun sebelumnya--pada kisaran peringkat 277--325. Mengapa hal ini dapat terjadi? Penulis menduga salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya indeks sitasi dari artikel-artikel yang sudah dipublikasikan tersebut. Mengapa indeks sitasinya rendah? Penulis menduga karena peningkatan jumlah publikasi yang ada lebih didominasi oleh artikel prosiding dan bukan artikel jurnal. Dan mengapa hal tersebut terjadi? Karena penelitian di UI belum menerapkan penelitian berbasis grup riset!

Untuk tetap meningkatkan jumlah publikasi sekaligus meningkatkan indeks sitasi publikasi tersebut, Peneliti mengusulkan konsep penelitian berbasis grup riset. Grup riset dengan struktur piramida di mana top leadernya adalah (profesor) Guru Besar, dan ditopang oleh dosen tetap bergelar doktor, tenaga peneliti tetap bergelar doktor non dosen, post doctoral dari dalam dan luar negeri, serta mahasiswa pasca sarjana, telah teruji dan terbukti dapat menjamin kuantitas dan kualitas luaran kegiatan penelitian berupa artikel jurnal terindeka SCOPUS. Grup riset yang harus memiliki jejaring kerjasama / networking dengan berbagai peneliti dari institusi riset atau universitas kelas dunia diharapkan akan mampu meningkat indeks sitasi publikasi yang dihasilkan. Dan semua itu diperankan oleh kepemimpinan seorang (profesor) Guru Besar di dalam grup risetnya. Jayalah UI, Rumah Guru Bangsa.

Komentar

  1. Cukup menjanjikan....namun benarkah setiap profesor itu mumpuni di bidang risetnya.... perlu dikaji lagi publikasi dr ybs...benarkah topiknya relevan dgn bidang yg ditekuni....dimanakah riset dikerjakan siapakah pemilik ide riset dan penulis sebenarnya dari jurnal tsb. Benar ada prof yg berbobot dan memiliki jaringan keilmuan yg luas....tp ada pula prof yg banyak mengandalkan publikasi bimbingannya yg nota bene mhsw S1 dan bbrp mhsw pascs sarjana yg sebenarnys sdh memiliki kepakaran dan memerlukan legalitas utk mencapai gelar S2 maupun S3 nya. Dengan kata lain jumlah prof yg ada blmlah menggambarkan tingkat kepakaran dan kemampuan dlm menarik dan menggerak gerbong riset grup.

    Ada kekhawatiran dlm fikiran saya...seharusnya Prof yg benar adalah seorang guru besar yg memiliki pengetahuan yg mumpuni dgn jaringan keilmuan yg luas shg bisa mengayomi anggota riset grupnya. Namun bila itu tidak terpenuhi maka penelitian dlm riset grup tidak akan berkembang krn sang Prof tdk mampu memberi arahan, memfasilitasi riset, serta ikut mencarikan solusi masalah penelitian...kecuali topik sesuai dgn peminatan Prof tsb...

    Perlu kejujuran dan ķebersamaan serta kerja keras dlm menilai atau mengevaluasi diri sendiri.... sebelum memulai kerja besar. Juga diperlukan reward dan punishment yg terukur scr jelas...bukan yg bisa dikotak katik agar tetap bisa memenuhi kriteria reward dan terhindar punishment...

    Ada kata2 yg harus dicamkan..... banyak orang yg mampu membuat rencana yg baik dan terlihat berbobot...tp seringkali gagal dalam implementasi rencana tsb.

    Semoga Allah menjaga dan menerangkan hati nurani para pemegang suara dlm pemilihan rektor. Semoga Allah memberikan UI seorang rektor yg memiliki sifat sidiq... amanah...tabligh dan fathanah....


    BalasHapus
  2. Wakru masih aktif di DRPM UI, saya sering diundang dan dilibatkan dlm diskusi2 di DGB UI, terutama saat topik diskusinya tentang riset. Memang betul seperti yg Bapak utarakan, hrs dilakukan maping kekuatan GB UI: berapa persen dr jumlah total GB yg mumpuni memimpin grup riset atas dasar track record publikasi dan jejaring kerja sama terutama dengan peneliti dr institusi atau universitas luar negeri yg ternama. Tks komen dan masukkannya.

    BalasHapus
  3. Tulisan yang cukup menarik. Urusan riset dan publikasi ini memang cukup menjadi orientasi penilaian, bukan hanya bagi institusi, tapi bagi individu juga. Saya ingin memberikan komentar, tetapi bukan dari segi kompetensi guru besar, tapi dari sudut pandang seorang dosen muda yang baru mengabdi hampir 3 tahun di UI.

    Saya merasa memang perlu adanya grup riset. Bagi seorang dosen PUI yang belum bergelar S3, cukup sulit rasanya untuk mengejar target publikasi 2 jurnal dalam kurun waktu 2 tahun, dengan persyaratan salah satu publikasi artikel harus "first author". Bagi saya yang menekuni bidang ilmu yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar, saya tidak bisa melakukan penelitian dengan uang pribadi. Jadi saya harus punya hibah, sementara syarat pengajuan hibah salah satunya adalah dosen yang sudah S3.

    Dengan adanya grup riset yang dikelola oleh seorang profesor (Guru Besar), harapan saya adalah para staf muda yang baru mulai mengabdi, dapat memilih grup riset sesuai keinginan dan kompetensinya. Grup riset yang baik saya rasa salah satunya adalah harus selalu aktif menghasilkan output riset, yang tentunya memiliki pendanaan yang memadai untuk melakukan riset. Lalu dengan bantuan kepala lab (profesor), staf muda dapat diikutsertakan dalam suatu tema penelitian sehingga para staf muda menjadi produktif dalam menghasilkan output penelitian.

    Selain itu, dalam rangka mencari beasiswa S3 di Jepang, saya juga mempunyai pengalaman ketika performa riset menjadi kriteria penting yang sangat menentukan kelulusan di seleksi tahap awal: berapa banyak pengalaman menjadi pembicara di konverensi? Apakah konverensinya internasional? Berapa banyak artikel yang dihasilkan? Apakah jurnalnya punya impact factor yang tinggi? Hal-hal seperti itu dinilai dalam bentuk poin. Tentunya semakin kecil Q jurnalnya, semaki tinggi poinnya.

    Saya merasa seorang guru besar memiliki peran yang sangat penting dalam membimbing dan mengembangkan potensi para staf muda, serta membentuk staf muda yang berkualitas, produktif, dan kompetitif. Saya berharap dengan semakin banyak guru besar di UI, semakin bisa membuka peluang bagi para staf muda untuk berkolaborasi dan menambah pengalaman riset dengan institusi lain, terutama institusi ternama di luar negeri.

    Seperti yang sering saya dengar dari dosen-dosen S1 (di UI) saya, yang sekarang menjadi kolega, bahwa dahulu para profesor memiliki peran yang sangat besar di balik kesuksesan mereka saat ini.

    Terima kasih.


    BalasHapus
  4. Apresiasi saya berikan kepada Penulis yang telah mengungkapkan dalam artikel ini, pentingnya peningkatan bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas publikasi, guna meningkatkan prestise Universitas Indonesia. Berdasarkan sudut pandang saya sebagai seorang alumni dari rumpun Sains dan Teknik (Saintek) UI, yang telah mendapatkan tawaran untuk melanjutkan studi S2 di universitas yang masuk dalam jajaran 50 universitas terbaik dunia (QS WUR 2019), riset sepertinya memang menjadi ujung tombak universitas-universitas terbaik dunia. Pengalaman riset dan publikasi menjadi salah satu kriteria penentu diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa. Terdapat setidaknya dua alasan yang melandasi hal tersebut, 1) universitas-universitas terbaik dunia pastinya menjadi tujuan studi 'favorit' bagi calon mahasiswa/i dari seluruh dunia; apabila ip minimum dijadikan acuan kompetensi utama, pastinya sulit memilih mahasiswa/i dari antara kandidat yang membeludak 2) hal ini selaras dengan sistem pendidikan di sebagian besar negara maju yang memang mengutamakan pengalaman langsung (firsthand experience). Peningkatan kualitas publikasi civitas akademika UI agaknya memang bukan lagi sebuah pilihan, melainkan suatu kewajiban jika UI ingin bersaing dengan universitas-universitas terbaik dunia.

    Poin Penulis terkait pengadaan fasilitas riset yang memadai di Kampus UI juga tergolong visioner dan patut diapresiasi. Keterbatasan fasilitas riset memang sudah lama menjadi kendala bagi mahasiswa/i UI dan tidak jarang mengakibatkan mahasiswa/i 'gagal lulus' tepat waktu akibat terbentur dengan seluk-beluk administratif yang cukup rumit terkait pemanfaatan fasilitas riset di luar kampus. Selain itu, pembentukan jejaring kerja sama antar institusi dan/atau peneliti dari seluruh dunia seperti yang disinggung Penulis di akhir tulisan juga dapat memperluas ruang lingkup riset di Indonesia sekaligus membuka peluang interaksi antar akademisi Indonesia dengan akademisi asing (misalnya melalui proyek joint research).

    Terkait sejauh mana keterlibatan dan kontribusi civitas akademika UI dalam bidang riset dan publikasi selama ini, saya tidak dapat memberi tanggapan maupun berkomentar secara terperinci karena saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait hal tersebut. Sejauh yang saya pahami (tanpa maksud untuk mendiskreditkan pihak manapun), Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK) dan Saintek UI telah cukup lama menggiatkan publikasi di kalangan mahasiswa/i-nya; beberapa fakultas bahkan mewajibkan publikasi sebagai syarat untuk dapat mengambil ijazah. Menurut saya, meski cara ini ampuh untuk meningkatkan kuantitas publikasi, kualitas publikasi menurun secara bersamaan karena dua hal, 1) Banyak mahasiswa/i mengeluh terbebani ketika menulis naskah untuk publikasi karena merasa 'dihalang-halangi' dari memperoleh hak-nya sebagai mahasiswa/i yang sudah lulus (dalam hal ini mengambil ijazah), sehingga mahasiswa/i cenderung asal saja dalam menulis naskah tersebut 2) mahasiswa/i cenderung memilih jalan publikasi yang paling mudah, yakni dengan membawakan presentasi dalam konferensi ilmiah; dengan demikian, artikel ilmiah mahasiswa/i lebih banyak dipublikasikan dalam prosiding dibandingkan jurnal. Saya berharap sekiranya Penulis terpilih menjadi Rektor UI yang berikutnya, Penulis dapat menemukan solusi yang lebih tepat sasaran.

    Sekian tanggapan saya, sukses selalu bagi Penulis.
    Terima kasih.

    BalasHapus

Posting Komentar