Rektor Asing dan Pencapaian Sasaran Strategis Rektor UI Periode 2019-2024 (bagian 1)


Rektor Asing dan Pencapaian Sasaran Strategis Rektor UI Periode 2019-2024 (bagian 1)

Dr. rer.nat. Yasman, M.Sc.; Calon Rektor UI 2019-2024

            Wacana yang dihembuskan oleh Kemenristekdikti untuk mendatangkan rektor dari luar negeri atau rektor asing diharapkan dapat meningkatkan ranking perguruan tinggi Indonesia agar masuk dalam deretan universitas terbaik dunia. Sebagaimana dilansir oleh CNN Indonesia tanggal 2 Agustus 2019, Menristekdikti M. Nasir mengatakan, "Saya yakin ini jalan keluar terbaik untuk negara, untuk tingkatkan kualitas negara. Saya cuma kepingin Indonesia ada perguruan tinggi 200 dunia". Nasir berargumen bahwa rata-rata kampus yang mempekerjakan rektor dan tenaga kerja asing masuk dalam 200 kampus terbaik di dunia. Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com, Nasir mengaku telah mengantongi izin dari Presiden Jokowi soal rencana mendatangkan rektor asing. "Sudah saya sampaikan secara lisan, Bapak Presiden setuju," katanya. Mendukung apa yang dikatakan M. Nasir, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa Presiden Jokowi ingin melihat bagaimana kalau bangsa ini berkompetisi. “Poinnya di situ, kami ingin masuki dunia kompetitif," ujarnya.
            UI tampaknya digadang-gadang merupakan salah satu target utama pilot project pendatangan rektor asing. Selain termasuk salah satu penyandang status PTN-BH yang disinyalir oleh Menristekdikti sebagai PTN paling siap dan paling layak dipimpin oleh rektor terbaik dari luar negeri, UI juga merupakan satu-satunya PTN yang secara konsisten--paling tidak mengacu pada data mulai 2008--selalu masuk dalam top 500 QS world university rankings (QS WUR). Bahkan di tahun 2009, UI pernah hampir masuk dalam deretan top 200 universitas terbaik dunia yaitu berada di peringkat 201 dalam top 500 QS WUR. Dan entah merupakan suatu kebetulan atau memang sudah direncanakan, wacana tentang perlunya mendatangkan rektor asing didengungkan saat UI sedang mencari kepemimpinan rektor baru periode 2019-2024. Tapi benarkah UI perlu dipimpin rektor asing?
            Tanpa harus ikut-ikutan terlibat dalam polemik pro dan kontra wacana pendatangan rektor asing oleh banyak pihak, baik dari kalangan akademisi--termasuk para rektor yang menjabat aktif saat ini--maupun anggota DPR, pada tulisan ini Penulis lebih ingin memberikan suatu pemikiran tentang apakah target yang ditetapkan oleh pemerintah dan diamanahkan ke rektor baru UI--baik itu rektor putra terbaik bangsa atau pun rektor asing--merupakan suatu yang realistis ataukah suatu mimpi di siang bolong? Karena dalam wacana pendatangan rektor asing, Menteri Nasir menargetkan agar perguruan tinggi yang dipimpinnya dapat meningkat peringkatnya menjadi 200 besar dunia. “Setelah itu tercapai, berikutnya 150 besar dunia. Setelah ini 100 besar dunia," harap Nasir sebagaimana dikutip dari rilis resmi Kemenristekdikti.
            Merujuk kepada apa yang Penulis utarakan dalam makalah yang menjadi salah satu syarat bakal calon rektor UI, siapa pun rektor UI seharusnya merasa beruntung karena memiliki pedoman dan arahan untuk mencapai target yang disasar oleh pemerintah yang jika dicermati senada dengan sasaran strategis Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) UI 2015-2035. Target pemerintah agar memiliki perguruan tinggi yang masuk 100 universitas ternama menurut QS WUR bahkan dibagi menjadi 4 (empat) tahap yang memerinci secara cermat sasaran strategi masing-masing tahap, yaitu Tahap I (2015-2020) UI mengonsolidasi semua potensi yang ada dalam menyelenggarakan Tridharma Perguruan Tinggi sehingga mampu unggul dalam penyelesaian masalah dan tantangan nasional dan global menuju unggulan di Asia Tenggara; Tahap II (2021-2025) UI memperkuat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan mulai berperan sebagai advocator dalam penyelesaian masalah dan tantangan nasional dan global dan menjadi 5 besar Asia Tenggara; Tahap III (2026-2030) UI mulai mengembangkan dan memanfaatkan Tridharma Perguruan Tinggi dalam penyelesaian masalah dan tantangan nasional dan global serta memantapkan posisi di 5 besar Asia Tenggara; Tahap IV (2030-2035) UI secara konsisten melanjutkan penguatan, pengembangan dan pemanfaatan Tridharma Perguruan Tinggi dalam penyelesaian masalah dan tantangan nasional dan global sehingga menjadi guru bangsa dan salah satu unggulan di Asia.
            Sesuai judul artikel, ulasan berikut ini lebih memokuskan pada sasaran strategis RPJP UI Tahap II, yaitu UI memperkuat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan mulai berperan sebagai advocator dalam penyelesaian masalah dan tantangan nasional dan global dan menjadi 5 besar Asia Tenggara. Mari kita ulas bagaimana relevansi sasaran strategis RPJP UI Tahap II yaitu menjadi 5 besar Asia Tenggara dengan target pemerintah masuk peringkat 200 besar dunia? Berdasarkan data QS World University rankings (QS WUR), menjadi 5 besar Asia Tenggara berarti harus melihat dan mempelajari kekuatan 5 besar universitas yang dalam 3 tahun terakhir (2018-2020) telah mantab menjadi 5 universitas terbaik Asia Tenggara, yaitu NUS dan NTU (Singapura) dan UM, UPM, serta UKM (Malaysia). Kelima universitas tersebut secara mantap telah masuk ke dalam deretan 200 universitas terbaik dunia. Tiga di antaranya, yaitu NUS, NTU, dan UM, bahkan telah mantap masuk 200 universitas terbaik dunia sejak tahun 2011 (NUS peringkat 28, NTU peringkat 58, UM peringkat 167). Sebagai catatan: pada tahun 2011 tersebut, UI berada di peringkat 217 QS WUR. Ketiga universitas tersebut, secara konsisten terus dapat memperbaiki peringkat setiap tahunnya hingga masuk ke deretan 100 besar dunia mulai tahun 2019 (NUS peringkat 11, NTU peringkat 12, UM peringkat 87). Sebagai catatan: pada pada rentang tahun yang sama, peringkat UI secara konsisten naik-turun di kisaran rangking 300-an; dan di tahun 2019 UI berada di peringkat 292. Ini berarti mewujudkan sasaran strategis RPJP UI Tahap II otomatis juga mewujudkan target pemerintah untuk masuk dalam deretan 200 universitas terbaik dunia. Bahkan sasaran strategis RPJP UI Tahap II jauh melampaui apa yang diinginkan oleh pemerintah. Sayangnya, hanya Yasman satu-satunya Calon Rektor UI terjaring, yang menyebut-nyebut sasaran strategis tersebut.
            Supaya ulasan pencapaian sasaran strategis RPJP UI Tahap II lebih terfokus dan lebih realistis, kita sepatutnya tak mengikutkan NUS, NTU, dan UM. Alasannya adalah NUS dan NTU sejak tahun 2016 telah konsisten dan nyaman di deretan ranking 15 besar dunia; Sedangkan UM pada tahun 2019 berada di peringkat 87 dan makin meningkat pada tahun 2020 di peringkat 70. Hal tersebut berarti untuk masuk 5 besar Asia Tenggara UI mau tidak mau harus berupaya keras dan cerdas berbenah diri* sehingga dapat mengalahkan peringkat 4 dan 5 universitas terbaik Asia Tenggara, yaitu UPM atau UKM yang merupakan salah dua dari top 5 university di Malaysia selain UM, USM, dan UTM. Berdasarkan data QS WUR tahun 2019, kedua universitas tersebut berada di peringkat 202 (UPM) dan 184 (UKM); sementara UI pada tahun yang sama berada di peringkat 292. Pemeringkatan QS WUR tahun berikutnya yaitu 2020, peringkat kedua universitas tersebut makin baik: UPM berada di peringkat 159 dan UKM di peringkat 160; Sedangkan UI semakin menurun dan berada di peringkat 296. Sekilas sangat berat--kalau tidak bisa dikatakan hampir tak mungkin--untuk menyusul dan mengalahkan peringkat kedua universitas asal Negara Jiran tersebut supaya dapat masuk 5 besar di Asia Tenggara. Dalam skema pesimistis: jangankan UPM dan UKM, mengalahkan USM dan UTM pun mungkin sulit mengingat top 5 university di Malaysia mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Kerajaan Malaysia. Nyatanya, sejak tahun 2013 peringkat USM dan UTM di QS WUR pun selalu lebih unggul dibandingkan UI (tahun 2013: USM peringkat 309, UTM peringkat 294, dan UI peringkat 310; tahun 2020: USM peringkat 165, UTM peringkat 217, dan UI peringkat 296).
            Mungkinkah sasaran strategis RPJP UI Tahap II dicapai? Telah Penulis utarakan bahwa untuk mencapai sasaran strategis tersebut, mau tak mau UI harus bekerja keras dan cerdas membenahi diri. UI harus mengambil pelajaran dari Universitas Mahidol (Thailand) yang di tahun 2010 (peringkat 228 dunia) hingga tahun 2017 (peringkat 283 dunia) masuk dalam 10 besar universitas terbaik Asia Tenggara, namun kemudian hilang dari daftar tersebut mulai tahun 2018. Atau the University of Philippines yang lebih awal menghilang dari deretan 10 besar universitas terbaik Asia Tenggara, yaitu mulai tahun 2016 (peringkat 400-an dunia). Dan sebaliknya, UI pun harus mengambil pelajaran dari UPM (Malaysia) yang hingga tahun 2014 tidak masuk dalam daftar 10 universitas terbaik Asia Tenggara (tahun 2013 UPM berada di peringkat 400-an dunia), namun mulai tahun 2015 masuk daftar dan secara konsisten peringkatnya terus membaik bahkan mulai mengalahkan UKM di data QS WUR tahun 2020 (UPM peringkat 159 dunia). Dengan dukungan penuh Kerajaan Malaysia, dalam 5 tahun (2015-2020) UPM yang tadinya berperingkat di bawah UI dan Universitas Mahidol mampu menjadi 4 besar universitas terbaik Asia Tenggara. (bersambung … )

Komentar